Imam Az-Zahabi, mengatakan, kitab hadis
yang ditulis Imam Bukhari merupakan kitab yang tinggi nilainya dan
barrier baik, setelah Alquran.
Di antara sederet kitab hadis yang
ditulis para ulama sejak abad ke-2 Hijriah, para ulama lebih banyak
merujuk pada enam kitab hadis utama atau Kutub As-Sittah. Keenam kitab
hadis yang banyak digunakan para ulama dan umat Islam di seantero dunia
itu adalah Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan
at-Tirmizi, Sunan An-Nasai, serta Sunan Ibnu Majah.
Sahih al-Bukhari
Kitab hadis ini disusun oleh Imam
Bukhari. Sejatinya, nama lengkap kitab itu adalah Al-Jami Al-Musnad
As-Sahih Al-Muktasar min Umur Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassallam wa
Sunanihi. Kitab hadis nomor satu ini terbilang unggul, karena
hadis-hadis yang termuat di dalamnya bersambung sanadnya sampai kepada
Rasulullah SAW.
‘’Sekalipun ada hadis yang sanadnya
terputus atau tanpa sanad sekali, namun hadis itu hanya berupa
pengulangan,’’ tulis Ensiklopedi Islam. Karena kualitas hadisnya yang
teruji, Imam Az-Zahabi, mengatakan, kitab hadis yang ditulis Imam
Bukhari merupakan kitab yang tinggi nilainya dan barrier baik, setelah
Alquran.
Dengan penuh ketekunan dan semangat yang
sangat tinggi, Imam Bukhari menghabiskan umurnya untuk menulis Shahih
Al-Bukhari. Ia sangat prihatin dengan banyaknya kitab hadis, pada zaman
itu, yang mencampuradukan antara hadis sahih, hasan, dan dhaif – tanpa
membedakan hadis yang diterima sebagai hujah (maqbul) dan hadis yang
ditolak sebagai hujah (mardud).
Imam Bukhari makin giat mengumpulkan,
menulis, dan membukukan hadis, karena pada waktu itu hadis palsu beredar
makin meluas. Selama 15 tahun, Imam Bukhari berkelana dari satu negeri
ke negeri lain untuk menemui para guru hadis dan meriwayatkannya dari
mereka.
Dalam mencari kebenaran suatu hadis,
Imam Bukhari akan menemui periwayatnya di mana pun berada, sehingga ia
betul-betul yakin akan kebenarannya. Beliau pun sangat ketat dalam
meriwayatkan sebuah hadis. ‘’Hadis yang diterimanya adalah hadis yang
bersambung sanadnya sampai ke Rasulullah SAW.’’
Tak hanya itu. Ia juga memastikan bahwa
hadis itu diriwayatkan oleh orang yang adil dan kuat ingatan serta
hafalannya. Tak cukup hanya itu. Imam Bukhari juga akan selalu
memastikan bahwa antara murid dan guru harus benar-benar bertemu.
Contohnya, apabila rangkaian sanadnya terdiri atas Rasulullah SAW –
sahabat – tabiin –tabi at tabiin – A –B – Bukhari, maka beliau akan
menemui B secara langsung dan memastikan bahwa B menerima hadis dan
bertemu dengan A secara langsung.
Menurut Ibnu hajar Al-Asqalani, kitab
hadis nomor wahid ini memuat sebanyak 7.397 hadis, termasuk yang ditulis
ulang. Imam Bukhari menghafal sekitar 600 ribu hadis. Ia menghafal
hadis itu dari 90 ribu perawi. Hadis itu dibagi dalam bab-bab yang yang
terdiri dari akidah, hukum, etika makan dan minum, akhlak, perbuatan
baik dan tercela, tarik, serta sejarah hidup Nabi SAW.
Sahih Muslim
Menurut Imam Nawawi, kitab Sahih Muslim
memuat 7.275 hadis, termasuk yang ditulis ulang. Berbeda dengan Imam
Bukahri, Imam Muslim hanya menghafal sekitar 300 ribu hadis atau separuh
dari yang dikuasai Imam Bukhari. ‘’Jika tak ada pengulangan, maka
jumlah hadis dalam kitab itu mencapai 4.000,’’ papar Ensiklopedi Islam.
Imam Muslim meyakni, semua hadis yang
tercantum dalam kitab yang disusunnya itu adalah sahih, baik dari sisi
sanad maupun matan. Seperti halnya Shahih Bukhari, kitab itu disusun
dengan sistematika fikik dengan topiknya yang sama.
Sang Imam, tergerak untuk mengumpulkan,
menulis, dan membukukan hadis karena pada zaman itu ada upaya dari kaum
zindik (kafir), para ahli kisah, dan sufi yang berupaya menipu umat
dengan hadis yang mereka buat-buat sendiri. Tak heran, jika saat itu
umat islam sulit untuk menilai mana hadis yang benar-benar dari
Rasulullah SAW dan bukan.
Soal syarat penetapan hadis sahih, ada
perbedaan antara Imam Bukhari dan Imam Muslim. Shahih Muslim tak
menerapkan syarat terlalu berat. Imam Muslim berpendapat antara murid
(penerima hadis) dan guru (sumber hadis) tak harus bertemu, cukup
kedua-duanya hidup pada zaman yang sama.
Sunan Abi Dawud
Kitab ini memuat 5.274 hadis, termasuk
yang diulang.Sebanyak 4.800 hadis yang tercantum dalam kitab itu adalah
hadis hukum. ‘’Di antara imam yang kitabnya masuk dalam Kutub
as-Sittah, Abu Dawud merupakan imam yang barrier fakih,’’ papar
Ensiklopedi Islam.
Karenanya, Sunan Abi Dawud dikenal
sebagai kitah hadis hukum, para ulama hadis dan fikih mengakui bahwa
seorang mujtahid cukup merujuk pada kitab hadis itu dan Alquran.
Ternyata, Abu Dawud menerima hadis itu dari dua imam hadis terdahulu
yakni Imam Bukhari dan Muslim. Berbeda dengan kedua kitab yang disusun
kedua gurunya itu, Sunan Abi Dawud mengandung hadis hasan dan
dhaif.Kitab hadis tersebut juga banyak disyarah oleh ahli hadis
sesudahnya.
Sunan At-Tirmizi
Kitab ini juga dikenal dengan nama Jami’
At-Tirmizi. Karya Imam At-Tirmizi ini mengandung 3.959 hadis, terdiri
dari yang sahih, hasan, dan dhaif. Bahkan, menurut Ibnu Qayyim
al-Jaujiyah, di dalam kitab itu tercantum sebanyak 30 hadis palsu.
Namun, pendapat itu dibantah oleh ahli hadis dari Mesir, Abu Syuhbah.
‘’Jika dalam kitab itu terdapat hadis
palsu, pasti Imam At-Tirmizi pasti akan menjelaskannya,’’ tutur Syuhbah.
Menurut dia, At-Tirmizi selalu memberi komentar terhadap kualitas
hadis yang dicantumkannya.
Sunan An-Nasa’i
Kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan
Al-Mujtaba. An-Nasa’I menyusun kitab itu setelah menyeleksi hadis-hadis
yang tercantum dalam kitab yang juga ditulisnya berjudul As-Sunan
Al-Kubra yang masih mencampurkan antara hadis sahih, hasan, dan dhaif.
Sunan An-Nasa’I berisi 5.671 hadis, yang menurut Imam An-Nasa’I adalah
hadis-hadis sahih.
Dalam kitab ini, hadis dhaif terbilang
sedikit sekali. Sehingga, sebagian ulama ada yang meyakini kitab itu
lebih baik dari Sunan Abi Dawud dan Sunan At-Tirmizi. Tak heran jika,
para ulama menjadikan kitab ini rujukan setalah Sahih Al-Bukhari dan
Shahih Muslim.
Sunan Ibnu Majah
Kitab ini berisi 4.341 hadis. Sebanyak
3.002 hadis di antaranya terdapat dalam Al-Kutan Al-Khasah dan 1.339
hadis lainnya adalah hadis yang diriwaytkan Ibnu Majah. Awalnya, para
ulama tak memasukan kitab hadis ini kedalam jajaran Kutub As-Sittah,
karena di dalamnya masih bercampur antara hadis sahih, hasan dan dhaif.
Ahli hadis pertama yang memasukan kitab ini ke dalam jajaran enam hadis
utama adalah Al-Hafiz Abu Al-fadal Muhammad bin Tahir Al-Maqdisi (wafat
507 Hijiriah).
(Oleh Heri Ruslan/walibarokah.org)