Membantu sesama—apalagi saudara—pasti akan membawa keberkahan. Ditambah dengan ketulusan, kita pun akan selalu mendapatkan “bantuan” dalam berbagai wujud kebaikan.
Di sebuah desa kecil, tinggal dua orang kakak beradik yang hidup berdampingan dengan rukun dan bahagia. Untuk menghidupi diri, mereka saling bantu menanami satu-satunya ladang yang ditinggalkan sebagai warisan terakhir orangtuanya. Dengan penuh ketelatenan, mereka selalu mendapatkan hasil yang dibagi rata satu sama lain.
Tahun demi tahun berlalu. Hingga, suatu kali, sang kakak menikah dengan perempuan dari desa sebelah. Bahu-membahu, mereka menjadi keluarga kecil yang sangat bahagia. Mereka tetap saling bantu di ladang. Istri sang kakak juga selalu membawakan makanan dan minuman untuk kedua bersaudara itu. Sementara, untuk hasil panen, mereka tetap membagi rata untuk kedua kakak beradik itu.
Suatu hari, di sebuah malam, si adik merenung. Ia berpikir, rasanya kurang adil jika mereka sama-sama punya jatah yang rata, padahal sang kakak sudah punya tanggungan keluarga. Sementara, dirinya baru hidup seorang diri di rumah yang kecil pula. Karena itu, ketika malam semakin larut, ia diam-diam membawa satu karung hasil panen yang menjadi jatahnya untuk dibawa ke rumah kakaknya. Begitu seterusnya setiap kali panen. Selalu saja ia membawa satu karung untuk diberikan secara diam-diam ke rumah kakaknya.
Bulan demi bulan berlalu. Hal itu terus dilakukan sang adik. Tapi anehnya, setiap kali memberikan satu kantong hasil panen, cadangan hasil panen di rumahnya tak pernah berkurang. Itu baru disadarinya setelah beberapa waktu berlalu.
Suatu malam, saat hendak kembali mengirimkan satu karung panen, sang adik berinisiatif mengambil jalan yang berbeda dari jalan biasanya. Tanpa dinyana, di sebuah jalan sempit, ia berpapasan dengan sosok yang juga sedang membawa karung. Hampir saja ia mengira itu adalah orang yang hendak mencuri hasil panen di rumah kakaknya. Namun, setelah lebih dekat, yang dijumpai ternyata justru sang kakak sendiri.
Mereka pun saling terpana, kaget melihat saudaranya satu sama lain sedang mengangkat karung hasil panen.
“Dik, apa yang kamu lakukan malam-malam begini?”
“Kakak sendiri sedang apa?” balas sang adik.
Setengah terbata, sang kakak bercerita. “Dik, aku sebenarnya merasa tidak enak dengan kamu. Setiap kali kamu pasti selalu membantu kakak di ladang. Kamu bekerja dengan sangat keras. Rasanya tak adil jika hasil panen ini kakak bagi rata denganmu. Sebab, aku hidup berdua. Sudah ada yang melayani aku sepanjang hari sehingga aku pasti tak akan selelah kamu yang hidup sendiri. Karena itu, aku memutuskan untuk membawa satu karung panen ini untuk aku berikan kepadamu. Aku harap, dengan kantong panen yang lebih banyak, kamu bisa hidup lebih enak dan bisa pula menata hidup lebih baik,” terang sang kakak. “Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan malam-malam begini?”
“Kak, rupanya kita punya pikiran yang hampir sama. Kakak kasihan melihat aku, sedangkan aku juga kasihan melihat kakak dan istri kakak. Harusnya kakak memang menerima lebih banyak karena sudah ada tanggungan lebih banyak daripada aku. Karena itu, tiap panen, aku selalu membawakan satu kantong untuk kuberikan di lumbungmu.”
Rupanya, kedua kakak beradik itu tak henti saling menyayangi. Pengorbanan mereka untuk saudaranya, ternyata langsung berbalas kebaikan pula. Karena itulah, meski dikurangi kantongnya setiap kali panen, jumlahnya selalu tetap karena satu sama lain saling memberi.
Melihat hal itu, mereka pun saling berpelukan, menangis haru. Ternyata, persaudaraan mereka sangat tulus sehingga bisa terus saling mendukung dan membantu satu sama lain.
Pembaca yang bijaksana,
Kisah kakak beradik tadi setidaknya bisa kita maknai dengan dua hal. Pertama, rasa kasih sayang yang tulus dan ikhlas akan selalu membawa kebaikan dan kebahagiaan bersama. Meski sudah terpisah dari orangtua, kedua bersaudara tadi selalu komitmen untuk membantu sama lain. Warisan yang diberikan orangtua pun menjadi warisan yang benar-benar bermanfaat. Dengan kondisi tersebut, keduanya akan selalu memetik manfaat yang maksimal dari kebersamaan mereka. Berkaca dari kisah itu, sudah selayaknya kita juga selalu memupuk semangat persaudaraan. Bukan hanya dengan saudara sedarah, tapi juga dengan orang-orang terdekat. Dengan saling mengasihi dan menyayangi, maka kita akan mendapatkan harmonisasi kehidupan yang bisa membawa kita pada kebahagiaan.
Hal kedua yang bisa kita maknai dalam kisah tersebut adalah bahwa sikap mau memberi, akan mendatangkan keberkahan. Memberi tak akan membuat kita kurang. Malah—entah dari mana—rezeki kita akan tetap berlimpah. Kisah kedua bersaudara itu mencerminkan kondisi bahwa pemberian yang dilandasi dengan niat tulus ikhlas, akan berbuah kebaikan juga bagi mereka. Begitu juga dengan kita. Tak akan kekurangan orang yang mau berbagi dengan sesamanya.
Mari, kita kembangkan sikap saling menghargai, saling dukung, saling tolong, antara sesama dan sekitar kita. Jadikan setiap rezeki yang dimiliki menjadi sesuatu yang bisa membawa kebaikan bersama. Dengan itu semua, kedamaian dan kebahagiaan sejati, akan jadi milik kita.