Kita flashback sejenak. Pada saat pemerintahan Presiden Soekarno, banyak pihak mencap Orde Lama itu sebagai pemerintahan yang diktatoris dan semrawut. Banyak istilah ‘Menteri-menteri goblok’ dan sejenisnya diteriakkan mahasiswa dan masyarakat Korupsi mulai berjangkit, politikus busuk sudah mulai eksis, dan yang paling parah, monopoli kekuasaan oleh PKI yang menempatkan Bung Karno seolah hanya sebagai ‘burung dalam sangkar emas’, dimana PKI dan kroni-kroninya hobi mencampuri urusan negara, bahkan pada ranah kesenian dan kebudayaan, PKI menerbitkan Lekra yang terang-terang memperkosa kebebasan seniman dan budayawan. PKI punya long-range plan di negeri ini, ada yang bilang PKI berencana untuk jadi partai tunggal sekaligus jadi pemerintah atau penguasa (sikap khas partai ini waktu itu, yang hendak membikin jaringan komunisme internasional yang sentralistik pada Rusia-RRT, tempat lahirnya) Beruntung percobaan kudetanya tahun 1948 di Madiun berhasil digagalkan. Itu PKI, belum lagi segudang masalah moral (soal main perempuan) dan masalah sosial lainnya yang nggak mungkin dijabarkan dalam tulisan pendek ini. Cita-cita kemerdekaan mulai dipertanyakan kembali, terutama yang menyangkut keadilan berpolitik (sebagimana yang disuarakan Bung Tomo perihal marjinalisasi partainya), keadilan berkesenian, dan yang lebih luas keadilan manusia (ingat kasus etnis Tionghoa) dsb. Semua itu tidaklah mencerminkan keadilan yang sesungguhnya. Jika kita baca karya-karya sastra Angkatan ’66, baik puisi maupun prosanya, maka jelaslah gambaran situasi waktu itu. Dan juga catatan harian dan tulisan-tulisan Soe Hok Gie.
Rezim totaliter ala Orde Baru juga terang-terang gagal ‘menciptakan’ Ratu Adil untuk semua pihak, terutama rakyat. Sistem yang represif saat itu malah mengekang kebebasan dan mempermainkan keadilan. Sistem yang juga sentralistik itu hanya menguntungan kalangan patrimonialis yang pandai memanfaatkan situasi, merekalah kroni-kroni Bung Harto. Soeharto yang maha kuasa sanggup membungkam aspirasi rakyat dan berbagai pihak –termasuk legislatif- atas nama internasionalisasi dan keterbukaan. Sungguh ironis, Pak Harto sesungguhnya berniat baik, yakni ingin agar investor-investor asing mau datang ke Indonesia dan menanamkan modalnya untuk turut serta berpartisipasi dalam membangun negeri bersama rakyat. Namun, caranya sungguh keliru, yakni dengan jalan membungkam suara-suara keras rakyat agar investor-investor itu nggak lari. Hal ini makin diperparah dengan campur tangan kroni-kroni dan konco-konconya yang turut serta berpartisipasi dalam rangka memperjuangkan perutnya sendiri-sendiri, hingga terciptalah istilah ‘Koncoisme’ ‘Asal Bapak senang’ dsb. Di ranah keadilan berpolitik, hanya Golkar si anak emaslah yang bisa menikmatinya. Hukum bukannya ditegakkan, namun justru dijadikan alat perlindungan diri dan untuk pembenaran tindakan mereka. Rakyat diinjak-injak oleh sistem ini, dan cukong-cukong berkembang dengan baik. Busuknya berbagai birokrasi, intervensi anak-anak dan kerabat dekat Pak Harto dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik, menggilanya korupsi, kolusi, nepotisme, suap, pungli dst pada waktu itu juga sudah jadi hal biasa. Apa ini adil? Jelas bukan!
Akhirnya, lewat perjuangan mahasiswa dan segenap rakyat yang bersatu, rezim ini berhasil digulingkan, dan demokrasi dilahirkan. Reformasi! Empat presiden berbeda bergantian memimpin rakyat, baik yang ditunjuk oleh Soeharto (Habibie) maupun yang dipilih rakyat. Ini jelas merupakan suatu kemajuan pesat dalam perkembangan negeri kita. Tapi balik lagi, apakah dengan sistem demokrasi yang ideal dan sejalan dengan UUD 1945 ini, kita sudah mampu membikin Ratu Adil? Saya tak perlu menjawabnya, cukup perhatikan saja apa yang terjadi di negeri ini setelah reformasi tegak. Apakah keadilan sudah benar-benar ada dan dibagi sama rata? Adakah kepastian hukum disini? Ataukah demokrasi yang bermakna keterbukaan hanyalah sebatas meneriakkan aspirasi tanpa didengar apalagi ditindaklanjuti?
Kondisi semacam ini lagi-lagi meninabobokkan jiwa kita yang sudah capek dan frustasi untuk kembali merindukan datangnya Ratu Adil, entah secara eksplisit maupun implisit, harapan itu selalu ada. Kita merindukan keadilan yang berpeluk mesra dengan hukum, dimana hukum tegak tidak hanya buat maling ayam, tapi juga buat maling duit rakyat. Artinya, keadilan dan kepastian hukum nggak melulu horisontal, tapi juga vertikal. Vertikal, hukum yang bergerak ke atas secara dinamis, dengan kata lain, merambah juga institusi pemerintahan dan para pelakunya. Saya rasa ada harapan walaupun tidak sepenuhnya, sebagai contoh komitmen presiden kita yang ingin agar korupsi (yang jelas-jelas juga menyangkut soal kepastian dan keadilan hukum) diberantas habis-habisan, hal ini dibuktikan dengan bersinarnya KPK memberi kejutan listrik pada tikus-tikus korup. Walaupun sekarang lagi diganyang masalah, dimana dua penegak hukum saling berhadapan yakni Polisi dan KPK, yang cukup membuat publik skeptis dan pesimistis akan tegaknya hukum, namun kita sebagai orang kecil masih menyimpan sedikit harapan. Lagipula, saya juga malas membahas kasus Bibit-Chandra dan Polisi, Cicak vs Buaya, yang cuma bikin kita sakit hati.
Kembali pada soal Ratu Adil, dengan segala macam hal yang terjadi di negeri ini, yang sepertinya malah menjauhi singgasana keadilan yang agung, saya lagi-lagi bertanya. Masih relevankah kita mengharap Ratu Adil datang membawa keadilan? Saya harus katakan, jika kita hanya menunggu Ratu Adil datang, itu artinya kita pengecut! Mengapa? Karena orang yang kita tunggu itu bukanlah diri kita sendiri. Otoritas diluar diri kita. Artinya kita mengharap Ratu Adil, entah apa bentuknya, datang ke negeri ini lalu menegakkan keadilan setegak-tegaknya. Lalu kita? Mungkin hanya sekedar lega, senang, bangga, dan berterimakasih pada Ratu Adil itu. Kemutlakannya adalah bahwa: Ratu Adil tidak akan pernah datang di negeri ini! Kita (mungkin) pernah berharap, ketika seorang pemimpin (siapapun itu) naik tahta dan menjanjikan keadilan pada kita, comment kita pasti: “Nah nih dia nih orangnya! Sang Ratu Adil (baca: Pembawa Keadilan) buat kita-kita” tapi tak sampai beberapa bulan comment kita sudah berubah: “Sialan nih orang! Janjinya dulu bawa keadilan, nyatanya malah memperkosa keadilan. Mana sih keadilan itu? Kok sulit banget di negeri ini. Kayak minyak tanah aja, udah jarang di pasaran” lalu comment selanjutnya, “Udah deh, biarin aja. Pemimpin kita ntar pastilah orang yang jauh lebih baik. Yang jauh lebih komit negakin keadilan” begitulah seterusnya. Pemimpin-pemimpin terus berlahiran berbarengan dengan optimisme kita akan datangnya keadilan. Lengsernya pemimpin juga berarti memerciknya harapan kita akan sosok pemimpin selanjutnya yang sudah kita gadang-gadang sebagai the next Ratu Adil. Dan seperti biasa, yang ditunggu nggak kunjung muncul juga. Saya kira, omong kosong kalau Ratu Adil itu cuma mewakili figur pemimpin doang. Artinya, kalau Presiden = Ratu Adil, artinya disini cuma ada seorang Ratu Adil. Mana bisa seseorang bekerja sendirian merubah segala macam tatanan yang semrawut lalu langsung menuju masyarakat makmur sejahtera dan adil. Memangnya komik? Bullshit juga kalau ada organisasi atau partai yang mengklaim sebagai Ratu Adil, Pembawa Keadilan, sebab organisasi tersebut, semulia apapun visi dan misinya, tidak bakal bisa kerja sendirian. Dia mungkin bisa berlaku adil dan memperjuangan tegaknya keadilan sementara yang lain ada yang memblejeti keadilan, yang disana menawar-nawar keadilan, yang disini membeli keadilan, yang sebelah situ malah tak peduli, yang lainnya malah cuma koar-koar doang. Yang lebih parah malah ada yang tidak paham apa sih keadilan itu gara-gara memang tidak pernah ketemu dengan yang namanya keadilan. Moga-moga saja tidak ada yang semacam ini.
Jadi menurut saya, kalau jumlah penduduk kita ada kira-kira 230 juta, maka harusnya jumlah Ratu Adil itu juga 230 juta. Saya mau bilang padamu, pada Anda, ya…ya Anda itu!…yang lagi baca tulisan ini! Coba raba dada Anda, pukul-pukul dada Anda (tapi jangan terlalu keras!), rasakan, adakah sesuatu disana? Terasakah oleh Anda dengkuran Ratu Adil yang lagi lelap disana? Dia tidur? Kalau begitu, coba bangunkan! Oi Ratu Adil, bangunlah! Jika kita sudah mampu ‘membangunkan’ Ratu Adil atau keadilan dalam diri kita, maka kitalah sebenarnya Sang Ratu Adil itu, Sang Pembawa Keadilan, Sang Pejuang Keadilan, dan Sang Penegak Keadilan!
Coba pikir, bagaimana kita bisa mendambakan keadilan sementara kita sendiri tal pernah membangunkan rasa keadilan dalam diri kita. Do it from yourself first, itu cabang dari prinsip DIY. Kita ingin memperjuangkan keadilan, sementara pada diri kita sendiri saja kita kadang kurang adil, apalagi pada orang lain. Bagaimana bisa kita menunggu Ratu Adil (yang notabene adalah orang diluar diri kita) sedangkan kita hanya asik-asikan aja, tidak berpikir samasekali bahwa kitalah sebenarnya, semuanya, apapun agama dan profesi kita, adalah Ratu-Ratu Adil yang akan memperjuangkan dan menegakkan keadilan di Bumi Pertiwi.
Insya Allah, jika pribadi-pribadi yang sudah adil memperjuangkan keadilan bersama-sama dengan pribadi-pribadi lainnya yang juga telah ‘membangunkan’ Ratu Adil dalam diri mereka, niscaya Ratu Adil sebenarnya sudah datang, yakni bukan orang-seseorang, organisasi, kelompok, ataukah sistem, atau raja, namun lebih dari itu, Ratu Adil Kolektif! Keadilan dimana-mana! Baik rakyat dan pemerintah, bersatu tidak hanya buat bikin hukum, tapi juga buat menjalankan dan mengontrolnya bersama-sama, seadil-adilnya buat semua.
#Tahuilmu.blog
SELAMAT DATANG
BalasHapus█▀█║█▀█║║█║█▀█║║█║█▀█║█▀█║║█▀█║█▀█
█▀▀║█▀█║║█║█▄█║║█║█▄█║█▀▀█║█▄█║█║█
▀║║║▀║▀║▀▀║▀║▀║▀▀║▀║▀║▀║║▀║▀║▀║▀║▀
█▀█║█▀█║█║█║█▀█║█▀█
█▄█║█║█║▀▀█║█▄█║█▀▀█
▀║▀║▀║▀║▀▀▀║▀║▀║▀║║▀
SELAMAT BERLOMBA MERAIH GELAR RATU ADIL
▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀
ZARO BANDUNG ZARO AGUNG MAJELIS AGUNG
█▀█║█▀█║█▀█║║█▀█║
█▀▀║█▀█║█▀▀█║█▄█║
▀║║║▀║▀║▀║║▀║▀║▀║
█║█║█║█║█▀█║█▀█║█▀▀║█▀█║█▀█
█▀█║▀▀█║█▀█║█║█║█║█║█▄█║█║█
▀║▀║▀▀▀║▀║▀║▀║▀║▀▀▀║▀║▀║▀║▀
█▀█║█▀█║█║█║█▀█║█▀█║║║║▀▀█║█▀█║█║▀▀█
█▀█║█║█║▀▀█║█▀█║█▀▀█║║║█▀▀║█║█║█║▀▀█
▀║▀║▀║▀║▀▀▀║▀║▀║▀║║▀║║║▀▀▀║▀▀▀║▀║▀▀▀
MANDALAJATI NISKALA
Sang Pembaharu Dunia Di Abad 21
▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀
Zaro Bandung Zaro Agung
Majelis Agung Parahyangan Anyar
adalah Top SDM Parahyangan,
yang menyandang amanah dalam lingkup
FILOSOFI IDEOLOGI SPIRITUAL SUNDA,
yang memiliki otoritas melahirkan
Khalifatulard "RATU ADIL" di Abad 21