Mengenal Wayang Palembang

Posted by Suliwanto On 09.04 No comments
Wayang Palembang (mediaIndonesia)
Ditinjau dari bentuk rupa wayang tidak dipungkiri bahwa wayang Palembang berasal dari Jawa. Dari gaya wayang putren juga dari rupa ornamen, bisa dipastikan wayang Palembang bergaya gagrag Yogyakarta. Namun apakah dibawa langsung dari Yogjakarta tidak ada yang bisa memastikan. Ada yang mengatakan wayang tersebut berasal dari Tanggerang ? Ditilik dari wayang yang paling tua, jelas bahwa wayang tersebut didatangkan dari Jawa. Sedang wayang-wayang srambahan ‘tokoh-tokoh pelengkap’ dibuat di Palembang.

Kemudian wayang-wayang yang paling baru adalah wayang-wayang yang dibuat oleh pengrajin wayang gaya Surakarta dan juga Yogyakarta. Dapat diperkirakan wayang Palembang dulunya berasal dari Jawa pada abad XVII, yang dibawa oleh seorang yang melakukan migrasi ke Palembang. Wayang tersebut dikembangkan oleh Nenek Moyang Dalang Ki Agus Rusdi Rasyid (dalang yang sekarang) terbatas hanya di lingkungan keluarga.

Keahlian dalang itu secara turun temurun diwariskan oleh kakek moyang kepada keturunan dalam jalur keluarga yang sangat terbatas. Dalam perjalanannya yang panjang semenjak memasuki wilayah Sumatera, wayang Palembang bersentuhan dengan budaya setempat, mengadopsi unsur-unsur budaya setempat, terutama adalah penggunaan bahasa Palembang dalam narasi maupun dialog. Sumber ceriteranya adalah Mahabharata, dan juga Ramayana namun mengalami pengolahan cerita berupa sanggit sebagai lakon carangan sebagai cerita lokal yang khas. Misalnya lakon Arjuno Duo atau Arjuna Kembar. Walau sudah jauh dengan sumber ceritera namun kalau di runut lakon-lakon cerita wayang Palembang motif-motifnya sama dengan wayang purwa Jawa. Misalnya lakon Prabu Indrapura yang motif ceriteranya mirip dengan lakon Petruk Dadi Ratu.

Tokoh-tokoh yang khas Palembang misalnya Bambang Tosena. Dia adalah anak dari Arjuna. Iringan pagelaran menggunakan seperangkat gamelan pelog dengan caturan/gendhing yang sudah mengalami pengolahan bentuk dan harmoni. Dari catatan seorang dalang bernama Bapak Syah HM, Hanan yang lahir tahun 1909. Pada era sebelumnya banyak dalang diantaranya adalah Dalang Lot, Dalang Jan, Dalang Abas, Dalang Abdul Rahim Dalang Agus dan Dalang Ali. Konon wayang ini pernah populer di Palembang. Dalam funsinya sebagai hiburan maupun untuk ruwatan, namun lambat laun mengalami kemunduran. Tahun 1930 sampai dengan tahun 1978 orang sudah jarang menyaksikan pertunjukan wayang Palembang. Bisa dikatakan orang tidak pernah mendengar lagi keberadaan wayang Palembang, Setelah begitu lama dalam tidurnya yang panjang (kurang lebih 48 tahun), pada tahun 1978 PEPADI Sumetera Selatan berhasil melacak keberadaan Wayang Palembang dan berusaha membangunkan kembali dari kondisi yang sangat memprihatinkan.

Dilakukan usaha untuk bisa menampilkan kembali wayang Palembang. Dibentuklah sebuah organisasi atau sebuah kelompok seni Wayang yang bernama SRI PALEMBANG dengan dalang Ki Agus Abdul Rasyid. Beralamat di Kelurahan 36 ilir Tangga Buntung Kecamatan Ikir Barat II Kota Madya Palembang. Dengan suatu pembangunan kembali di sana-sini maka tahun 1978 Wayang Palembang diikutsertakan pada Pekan Wayang Indonesia III di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Ketika itu menggelar lakon Bambang Tukseno bertempat di Teater Tertutup TIM

Sekembali dari misi ke Jakarta, kesenian Wayang itu menggeliat bangun. Ada denyut-denyut kebangkitan kembali. Hal ini terbukti dari adanya minat dari Saudara H. Ahmad Sukri Ahkab seorang asli Palembang kelahiran tahun 1947 yang bekerja di RRI Stasiun Palembang sebagai penyiar. Ia tertarik belajar mendalang pada Ki Agus Abdul Rasyid. H Ahmad Sukri Ahkab mulai berani tampil di RRI Palembang tahun 1978. Pada saat itu setiap sebulan sekali diadakan pagelaran Wayang Palembang melalui RRI Palembang.

Kesempatan tampil kembali di pentas Nasional adalah pada Pekan Wayang Nasional IV tahun 1983. Ketika itu dalang sepuh sudah meninggal, dan yang menjadi dalang kali ini adalah putera dari Ki Agus Abdul Rasyid yaitu Ki Agus Rusdi Rasyid. Pada era 1983 sampai dengan 1987 nyaris tidak ada lagi kegiatan seni pedalangan wayang Palembang. Pada tahun 1988 wayang Palembang tampil lagi dalam rangka promosi wisata daerah Sumatera Selatan. Menurut Informasi Bapak H. Ahmad Sukri Akab, pada tahun 1978-1980 Pagelaran Wayang Palembang yang terbanyak dilakukan dengan memberi kesempatan pentas di RRI yang dijadwalkan sebulan sekali. Pada tahun 1979 Wayang Palembang tampil di TVRI Stasiun Palembang berupa paket lokal untuk siaran TVRI Palembang dengan durasi 45 menit melakonkan cerita Suryadadari. Dalam tahun yang sama mengisi paket acara yang disiarkan secara nasional dalam program Taman Bhineka Tunggal Ika selama 25 Menit dalam cerita Arjuno Duo (Arjuna Kembar). Beberapa pertunjukan yang sempat dicatat adalah pertunjukan-pertunjukan untuk mengisi paket acara media masa RRI-TVRI, panggung penerangan, peringatan Musda PEPADI Sumsel dan undangan khusus dari Menteri Penerangan. Beberapa pentas yang digelar lebih banyak disebabkan karena adanya kebijakan dari lembaga yang mempunyai kepentingan dengan kelestarian Wayang ini. Dalam hal ini adalah PEPADI dan Pemerintah daerah, serta Departemen Penerangan. Yang menjadi keprihatinan adalah sedikitnya apresiasi masyarakat akan bentuk kesenian ini. Hal ini bisa dibuktikan dari pentas yang dikatakan “murni”, dalam arti atas permintaan masyarakat yang menginginkan jasa hiburan atau keterkaitan dengan tradisi setempat, hampir bisa dikatakan tidak ada! Dalam sepuluh tahun terakhir (kurun waktu 1980-2000) tidak lebih dari 3 kali pentas yang terkait dengan upacara tradisi seperti hajatan perkawinan Periode 2000-2002 belum ada satupun pentas yang dilakukan.

MediaIndonesia Wayang Palembang:
Meski disebut wayang palembang, berdasarkan lembaran naskah yang masih utuh, kesenian itu berawal di Jawa. Wayang masuk ke Sumsel pada abad 17 Masehi oleh pedalang Jawa. Kala itu Arya Damar yang terpengaruh oleh budaya Jawa berkuasa di Palembang. Wayang kemudian tumbuh dengan karakter lokal yang menjadi khas Palembang. "Saat itu wayang perlahan dikenal oleh masyarakat Sumsel yang selalu ditampilkan dalam pesta rakyat," ungkapnya. Pasang surut wayang palembang saat itu diakui Wirawan hingga pada era 1970-an. Beberapa dalang dan pengrawit--penabuh alat musik--seperti almarhum Achan serta lima sahabatnya bertekad menghidupkan kembali kesenian tersebut. Kesenian wayang palembang yang hampir punah tergerus oleh waktu mereguk kejayaan pada masa itu. Pertunjukan wayang palembang kerap hadir pada pementasan berskala nasional, seperti Pekan Wayang Indonesia. "Banyak acara rakyat yang memakai pertunjukan ini. Wayang hidup kembali," tegas Wirawan. Tiga tokoh wayang, Semar, Petruk, dan Gareng, menjadi tokoh primadona sebagai wujud manifestasi keburukan dan kebaikan. Wayang palembang memiliki bentuk fisik dan sumber cerita yang sama dengan wayang purwa dari Jawa. Perbedaannya wayang palembang dimainkan menggunakan bahasa Melayu Palembang, dan perilaku tokoh-tokohnya lebih bebas. Wayang purwa menggunakan bahasa Jawa dan perwatakan tokohnya ketat dengan pakem-pakem klasik. Selain itu, lamanya pertunjukan wayang palembang hanya 1-3 jam, sementara wayang purwa bisa semalam suntuk. Dengan pembawaan yang tenang Wirawan sangat fasih mengingat peristiwa-peristiwa yang menjadi bagian sejarah perjalanan wayang palembang.

Referensi:
~ Pdwi.org
~ Sriwijayaradio / MediaIndonesia


Artikel Terkait:

0 comments:

Posting Komentar

Berikan Tanggapan Anda Disini..

Site search

    My Book Collection

    Link Exchange

    Copy kode di bawah masukan di blog anda, saya akan segera linkback kembali javascript:void(0) Suliswanto
    Flag Counter

    Follow This Blog

    Total Penayangan