Pramoedya Ananta Toer:

Buya Hamka:

Dalam sejarah, pertemuan antara Buya Hamka dengan Pramudya Ananta Toer, diwarnai dengan pertentangan budaya antara keduanya. Hal ini terjadi pada jaman orde lama, ketika PKI menguasai dunia perpolitikan di Indonesia. Dominasi PKI bukan hanya pada bidang politik, melainkan juga pada bidang sastra dan budaya. Sastrawan dan budayawan Taufik Ismail menyebutnya sebagai prahara budaya. Prahara budaya ini ditandai dengan terjadinya peperangan sastra dan budaya antara sastrawan yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan sastrawan yang tergabung dalam Manikebu (Manifest Kebudayaan).

Buya Hamka sebagai salah seorang sastrawan, termasuk yang menjadi sasaran tembak dalam pertikaian budaya tersebut. Pada tahun 1963, Harian Rakyat yang berbau komunis menempatkan berita headline yang menyatakan bahwa Tenggelamnya Kapal Van der Vijck adalah hasil jiplakan oleh pengarang Hamka. Sedangkan Harian Bintang Timur dalam lembaran Lentera, juga memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang Alvonso Care, seorang pujangga Perancis. Lembaran Lentera ini diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer.

Sejak saat itu, berbulan-bulan lamanya kedua koran komunis itu sering membuat tulisan-tulisan yang mendiskreditkan Hamka. Tidak hanya menyerang karya satranya, bahkan juga menyerang secara pribadi. Namun Hamka tetap tenang dan tidak merasa terusik dengan hujatan-hujatan itu.

Setelah kudeta PKI yang gagal, Pramoedya ditahan di Pulau Buru. Hingga beberapa tahun kemudian, Pramoedya dibebaskan. Ia kemudian aktif melakukan kegiatannya lagi. Sekian lama, antara Hamka dan Pramoedya tidak lagi terjalin hubungan, meskipun dalam nuansa konfrontatif seperti pada saat sebelumnya meletusnya G30S PKI. Hamka dan Pramoedya terlarut dengan kegiatannya masing-masing.

Hingga suatu hari, Hamka kedatangan sepasang tamu. Si perempuan seorang pribumi, sedangkan yang laki-laki seorang keturunan Cina. Kepada Hamka, si perempuan kemudian memperkenalkan diri. Namanya Astuti. Sedangkan yang laki-laki bernama Daniel Setiawan. Hamka sempat terkejut ketika Astuti mengatakan bahwa ia adalah anak sulung dari Pramoedya Ananta Toer. Astuti menemai Daniel menemui Buya Hamka untuk masuk Islam sekaligus mempelajari agama Islam, menjadi seorang mualaf. Menurut Astuti, selama ini Daniel adalah seorang non muslim. Ayahnya Pramoedya, tidak setuju jika anak perempuannya yang muslimah menikahdengan laki-laki yang berbeda kultur dan agama.

Selesai Astuti mengutarakan maksud kedatangannya, serta bercerita latar belakang hubungannya dengan Daniel, tanpa ragu sedikit pun, Hamka meluluskan permohonan keduanya. Daniel Setiawan, calo menantu Pramoedya Ananta Toer, langsung dibimbing oleh Hamka membaca dua kalimat syahadat. Hamka lalu menganjurkna Daniel untuk berkhitan, dan menjadwalkan untuk memulai belajar agama Islam dengan Hamka.

Dalam pertemuan dengan putri sulung Pramoedya dan calon menantunya itu, Hamka sama sekali tidak menyinggung bagaimana sikap Pramoedya terhadapnya, beberapa tahun sebelumnya. Benar-benar seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara keduanya.

Salah seorang teman Pramoedya yang bernama Dr. Hoedaifah Koeddah pernah menanyakan kepada Pramoedya, apa alasan dirinya mngutus calon menantunya menemui Hamka. Dengan serius Pramoedya menjelaskan kepada temannya itu, “Masalah faham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki yang seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka.”

Menurut Dr. Hoedaifah yang tertuang dalam majalah Horison (Agustus 2006), secara tidak langsung tampaknya Pramoedya dengan mengirim calon menantunya ditemani anak perempuannya kepada Hamka, seakan ia meminta maaf atas sikapnya yang telah memperlakukan Hamka selama ini. Dan secara tidak langsung pula Hamka telah memaafkan Pramoedya dengan bersedia membimbing dan memberi pelajaran agama Islam kepada sang calon menantunya.

Begitulah kebesaran jiwa seorang Buya Hamka, sehingga tiga tokoh besar Indonesia memberikan “testimoninya”.

“Saya ingin bila wafat kelak, Hamka bersedia mengimami shalat jenazahku” (Soekarno)

Hamka adalah tokoh yang dihormati kawannya dan disegani lawannya.


“Bila saya wafat, tolong Hamka bersedia menemani di saat-saat akhir hidupku dan ikut mengantar jenazahku ke kampung halamanku di Talawi” (Moh. Yamin)

“Saya lebih mantap mengirim calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik” (Pramoedya Ananta Toer)


-----------------------------------------------

Sumber: Buku “Ayah, Kisah Buya Hamka”, karangan Irfan Hamka
Referensi : Kompasiana.com


Artikel Terkait:

0 comments:

Posting Komentar

Berikan Tanggapan Anda Disini..

Site search

    My Book Collection

    Link Exchange

    Copy kode di bawah masukan di blog anda, saya akan segera linkback kembali javascript:void(0) Suliswanto
    Flag Counter

    Follow This Blog

    Total Penayangan