Sejarah telah mencatat, bahwa kaum muda dengan idealismenya memiliki daya yang sangat besar dalam menggalakkan perubahan. Contohnya Sumpah Pemuda hasil Kongres Pemuda II tahun 1928, Reformasi Indonesia oleh para mahasiswa tahun 1998, Revolusi Xin Hai di Cina tahun 1911, Gerakan anak muda anti-Perang Vietnam di Amerika Serikat tahun 1970-an, Revolusi Perancis melawan Ancient Regime tahun 1789, serta Revolusi Bolsyevhik 1917 di Rusia. Suatu tindakan atau gerakan besar, selalu dimulai oleh para idealis. Idealisme memang tak kasat mata, namun fakta telah menunjukkan bahwa ia mampu menjadi daya penggerak yang luar biasa pengaruhnya.

Indonesia adalah sebuah negara yang muda. Kemerdekaan sebagai pesta demokrasi rakyat Indonesia baru 67 tahun usianya, sementara reformasi baru berjalan 14 tahun. Waktu yang demikian singkat ternyata belum mampu menghapuskan budaya feodal yang telah 350 tahun ditanamkan semasa penjajahan Belanda di kepulauan Nusantara. Usia, pangkat, jabatan serta status sosial lebih diagungkan ketimbang kualitas kepribadian. Orang masih lebih menghargai apa yang terlihat ketimbang esensi atau hakikat.

Dalam proses pendewasaan sebagai sebuah negara, Indonesia nampak begitu abu-abu. Berbagai sistem diciptakan untuk memenuhi tuntutan dunia modern, namun ternyata hanya sekadar formalitas dan pemenuhan syarat belaka. Ciri utama masyarakat modern yang mampu berpikir serta bertindak dengan sadar dan rasional belum nyata tampak. Segala yang kelihatan modern di luarnya, ternyata hanya merupakan tindakan tradisional yang justru kurang jelas alasan, tujuan, faedah serta manfaatnya.

Contoh kegagalan paling nyata ialah sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan hanya berorientasi pada tercapainya target nilai minimal dalam bentuk angka-angka. Padahal, manusia adalah mahkluk yang terlalu kompleks untuk dideskripsikan bahkan dengan kata-kata, apalagi dengan angka. Segi kuantitas mengatasi kualitas, dan pendidikan kognisi tidak diimbangi dengan afeksi. Akhirnya sistem pendidikan menjadi percuma dan sia-sia. Banyak siswa muak dengan sekolah karena merasa tak mendapat apa-apa selain tekanan untuk mendapat nilai bagus dan lulus.

Kelulusan ditentukan oleh Ujian Nasional dalam bentuk jawaban tertutup/ pilihan ganda. Pikiran jutaan siswa yang beragam diseragamkan dalam lima pilihan jawaban. Banyaknya varian paket soal dikeluarkan sebagai sebuah sistem indah yang seakan mampu mencegah kecurangan (yang menurut Mr. Emmanuel Rochadi Edwijantoro justru mengindikasikan ketidakpercayaan pemerintah akan akhlak dan kejujuran para siswa Indonesia), sementara kunci jawaban tetap diselundupkan dan dijual seakan telah terjadi sebuah ‘kelalaian’ dan ‘ketidaksengajaan’ hanya demi meraup keuntungan. Di baliknya, pembuatan varian soal UNAS ini menjadi ladang subur bagi para oknum yang hendak memanen lebih banyak uang.

Sistem pendidikan yang demikian memberi kesempatan besar bagi siswa untuk berbuat curang. Pengawas UNAS dilarang menegur siswa yang menyontek, dan beberapa sekolah bahkan mengorganisir pembelian bocoran kunci jawaban. Kecurangan menjadi budaya yang lazim dan biasa, bibit kejahatan kolektif pun lahirlah. Tak perlu heran bila korupsi begitu marak di negeri ini, sebab, lembaga pendidikan, baik formal, informal maupun nonformal telah gagal melaksanakan fungsinya dalam mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Apa guna sistem semacam ini apabila hanya melahirkan penerus yang tak berakhlak serta berwatak curang? Apa guna semua ini bila sang pembuat aturan pun tak mampu mendidik dan memberi teladan? Adalah hak siswa untuk diajar dan dididik dengan benar, namun negara tak mampu menciptakan sistem yang layak. Justru terjadi pembodohan, hanya demi menebalkan kocek sekelompok orang yang tak bermoral.

Dikatakan bahwa negara kita ini demokratis. Dikatakan bahwa aspirasi rakyat begitu tinggi dihargai. Namun pada kenyataannya, kaum muda yang tampak kritis, idealis dan revolusioner justru seringkali didiskreditkan, dianggap radikal, kasar, kurang ajar dan sok pintar. Kaum konservatif dengan pandangan yang tradisional feodal seakan takut tersaingi dan berusaha sekuat tenaga mempertahankan gengsi.

Para kritisi yang menyadari kesalahan sistem semacam ini justru diminta bungkam. Yang berani angkat suara mengungkap fakta justru dianggap tak waras oleh yang lebih punya kuasa, status dan usia, sementara pihak yang mendukung seringkali tak punya daya. Mereka dianggap salah dan tak mampu beradaptasi. Para kritisi yang idealis hanya menghadapkan cermin pada wajah-wajah sistem yang salah dan memang tak ideal, namun cermin tersebut dipecahkan karena telah memantulkan bayangan yang buruk dan tak diinginkan.

Ada satu hal yang patut dipertanyakan : Apa guna beradaptasi dengan keadaan yang jelas-jelas salah? Mengapa melawan arus yang nyata-nyata menentang kebenaran justru dianggap kesalahan, sekencang dan sederas apapun arus itu? Apakah karena perasaan bahwa diri begitu kecil dan tak berdaya? Sesungguhnya perasaan tak berdaya hanyalah sebuah alasan untuk tetap bersikap plegmatis dan apatis. Karena berenang searah arus yang salah dan membiarkan nurani berteriak jauh dalam sanubari jauh lebih mudah dilakukan ketimbang melawan. Lebih mudah beradaptasi, menjamin kedamaian dan keamanan diri sendiri, meski dalam hati kita sadar bahwa mendiamkan kesalahan adalah juga sebuah kejahatan.

Kita adalah korban pembodohan oleh sistem dan keadaan, korban sistem yang kita tahu tak karuan namun tetap tak mampu dilawan. Akankah kita terus membiarkan diri terjajah dan terpuruk oleh kebodohan, sistem dan keadaan? Sementara sejarah telah membuktikan bahwa kekuatan massa begitu besar pengaruhnya dalam menciptakan perubahan. Mudah menemukan orang-orang yang berkemampuan. Tapi sulit menemukan orang yang berkemauan. Revolusi pendidikan adalah hal yang kita butuhkan. Akan lahir kaum intelektual yang berkualitas, baik secara kognitif maupun afektif, dan lingkaran kejahatan kolektif yang telah mendarah-daging akan terputus.

Marilah kita bersama menyatukan suara menggalakkan revolusi sistem pendidikan yang bangsa ini butuhkan. Ketika anda mundur, merasa kecil dan tak berdaya hanya karena kemudaan dan perasaan bahwa diri bukan siapa-siapa, anda telah meredupkan nyala api harapan kemajuan bangsa. Seperti ditulis Soe Hok Gie dalam salah satu catatannya, generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua. Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia. Di Indonesia hanya ada dua pilihan, menjadi idealis, atau menjadi seorang apatis yang adaptif. Mari kita refleksikan, manakah pilihan kita?


“Saya telah memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya.

Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”

-Soe hok Gie-


Apakah ada bedanya?

hanya diam menunggu dengan memburu bayang-bayang

Sama-sama kosong

-Ebiet G. Ade-


“Di mana-mana sama saja. Di mana-mana aku selalu dengar.

Yang benar juga akhirnya yang menang.

Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan?

Kebenaran tidak datang dari langit,

dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar.”

-Pramoedya Ananta Toer-


“Bentuk pemerintahan yang terbaik adalah yang sudah pasti

mencegah kumpulan iblis terbesar.”

-James Monroe-


“Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya.

Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia.”

-Soekarno-



Ditulis Oleh

Judith Chanutomo (17 thn)

Surabaya, 11 Maret 2013

Jam 4.10 pagi


#Kompasiana

---------------------




Artikel Terkait:

0 comments:

Posting Komentar

Berikan Tanggapan Anda Disini..

Site search

    My Book Collection

    Link Exchange

    Copy kode di bawah masukan di blog anda, saya akan segera linkback kembali javascript:void(0) Suliswanto
    Flag Counter

    Follow This Blog

    Total Penayangan